CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sabtu, 17 Januari 2009

Enterpreneurship

Entrepreneurship


Oleh: Budi Rahardjo

Artikel ini ditulis sebagai jawaban atas pertanyaan pak Zainal Abidin (Dosen Mesin ITB) yang dilontarkan di mailing list Dosen ITB. Pertanyaan itu sendiri muncul sebagai respon terhadap komik saya tentang kuliah Konsep Teknologi yang kami (4 dosen) ajarkan dimana pak Buntoro (sebagai tamu) mengatakan "Jangan Pernah Menulis Lamaran. Jadilah Entrepreneur!" Apakah ajakan ini bijaksana? demikian pertanyaan pak Zainal. Kemudian ada pertanyaan-pertanyaan lain yang saya akan coba jawab dalam tulisan ini.

Ternyata menulis artikel singkat ini membutuhkan waktu yang lumayan lama. Saya terpaksa menyingkir ke Starbucks (Ciwalk, Bandung) untuk mencoba menuliskan artikel ini. Writing gears saya dapat dilihat pada gambar di samping ini. Lihat iPod nano di sebelah kiri. Satu jam kemudian, artikel ini belum selesai juga. Kemudian saya pindah ke food court dari Ciwalk. Sambil makan, saya teruskan menulis artikel ini. Waktu ini belum termasuk untuk membuatnya dalam format yang lebih menarik seperti ini. Secara keseluruhan mungkin dibutuhkan waktu tiga jam untuk menulis artikel ini.


Baiklah, kita mulai.

Pak Zainal Abidin: "Saya justru menganjurkan lulusan untuk bekerja dulu di industri beberapa saat sebelum menjadi enterpreneur, karena ... (dihapus) biar punya modal, ... (dihapus) memiliki pandangan barang yang dibutuhkan oleh industri, ... (dihapus) mengenal pembeli, pensuplai, tenaga ahli yang diperlukan, dan cara pemasaran."
Tunggu sampai lulus dan bekerja dulu?

Apa yang dikatakan bapak benar, akan tetapi mengapa harus menunggu sampai mahasiswa lulus? Semestinya hal-hal mengenai entrepreneurship ini harus dimulai sebelum mereka lulus (ketika menjadi mahasiswa) atau bahkan tidak perlu lulus (drop out)! Ketika kampus tidak memberikan kemudahan untuk bereksperimen dalam entrepreneurship (dan lebih menekankan kepada kuliah kelas) maka drop out mungkin merupakan sebuah alternatif yang lebih menarik. Banyak contoh di luar negeri dan bahkan di Indonesia yang drop out dan sukses. How deep is your passion in your dream?

Mohon tulisan ini jangan dianggap sebagai ajakan atau legitimasi untuk dropout. Sebagai orang tua, saya pun tidak ingin anak saya drop out karena pendidikan dan lingkungan kampus dapat memberi banyak manfaat. (Asumsi saya kampus memang kondusif untuk entrepreneurship. Mengenai kebenaran asumsi ini akan kita bahas di bawah.)

Entrepreneurship dapat dimulai ketika masih menjadi mahasiswa, seperti mengerjakan cucian untuk kawan, membantu tutorial, dan sebagainya. Namun bapak menggelishkan bahwa semestinya anak didik kita (lulusan ITB) bergerak di usaha dalam bidangnya.

Apabila entrepreneurship baru dimulai setelah mahasiswa lulus, dan kemudian bekerja, maka berapa tahun lagi baru dia bisa memulai. Kesuksesan dalam segala hal membutuhkan waktu. Skill membutuhkan waktu untuk diasah. Intuisi membutuhkan waktu dipertajam. Saingan mahasiswa tersebut sudah mulai.
Aspek finansial

Dalam tulisan lain tentang entrepreneurship dan start-up saya katakan bahwa aspek finansial ini bukan masalah yang paling utama saat ini. Bukan berarti dia tidak penting, akan tetapi bukan masalah yang utama saat ini. Banyak orang yang datang ke saya karena kebingungan kemana uang mereka harus diinvestasikan.

Lihat tulisan di sini: http://budi.insan.co.id/start-up/articles/pendanaan.html

Masalah utama saat ini adalah mencari orang (SDM) yang kompeten untuk menjalankan usaha. Kompeten di sini maksudnya bukan dalam hal teknis saja, akan tetapi lebih kepada "dapat diandalkan".
Banyaknya kegagalan

Saya rasa dari 10 (atau bahkan 100) perusahaan yang berdiri hanya 1 yang dapat bertahan setelah 5 tahun (CMIIW). Apalagi menghadapi krisis ekonomi semacam ini.

Jadi bagaimana sebaiknya? Kita tidak usah mendirikan perusahaan dan membuka lapangan pekerjaan? Biarkan orang lain saja yang mengambil resiko? Lulusan kita sebaiknya menjadi pegawai saja? Atau lebih aman lagi, mungkin perlu kita anjurkan agar lulusan kita menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) saja?

Maaf kalau kalimat di atas menampilkan sinisme saya. Bukan maksud saya untuk mendiskreditkan seseorang atau sekelompok, akan tetapi perlu kita tegaskan kemana lulusan kita akan diarahkan. (Khususnya untuk bapak, saya bukan bermaksud menggurui.)

Entrepreneurship memang tidak untuk setiap orang. Namun perlu kita perhatikan berapa jumlah pencari pekerjaan (termasuk lulusan perguruan tinggi) setiap tahunnya? Siapa yang akan menyerap mereka? Siapa yang mau memikirkan pembuatan lapangan pekerjaan kalau bukan kita-kita? Sayangnya kita-kita, termasuk kampusku yang tercinta, tidak terlalu peduli. Business as usual.
Entrepreneurship dan Kampus

Apa itu entrepreneurship? Saya tidak tahu karena tidak pernah diajarkan di kampus.

Pembahasan mengenai entrepreneurship itu sendiri bisa menjadi satu buku. Bahkan sudah ada buku-buku yang membahas hal tersebut. Tulisan ini tidak bermaksud menguraikn definisinya. Mungkin di lain tulisan akan saya jawab. Saya lebih tertarik ingin mengomentari kalimat di atas.

Tepat sekali, saat ini memang kampus kita (ITB) belum mampu mengajarkan entrepreneurship. Padahal saya pernah mendengar rencana ITB untuk menjadi entrepreneurial university setelah menjadi research university. Untuk sementara ini bisa saya katakan bahwa ini masih mimpi. Jika tidak diajarkan di university, maka dimana mahasiswa bisa belajar mengenai hal ini? Berarti mahasiswa harus belajar di luar kampus.

Selain itu, menurut pendapat saya entrepreneurship tidak hanya diajarkan di kelas saja, akan tetapi harus dicontohkan juga. Akan lebih mudah menjelaskan sesuatu jika ada contoh yang nyata. Apakah ada contoh entrepreneur sukses di kampus ITB? Tidak banyak. Bagaimana mahasiswa akan percaya kalau tidak ada contoh, dan bahkan dosennya pun hanya berteori tanpa pernah mencoba. Kalaupun mencoba, dosen ini hanya menjalankan perusahaan "ecek-ecek" yang sebetulnya hanya mengerjakan proyek-proyek saja. Ini bukan entrepreneurship yang saya pikirkan.

Sebagai bahan renungan kepada para pembaca, apa yang Anda harapkan dari mahasiswa Anda? (Tidak harus dosen, saya hanya mengunakan perumpamaan ini karena berdiskusi di milis dosen.) Bagaimana bila semua (sekali lagi, SEMUA) mahasiswa di kelas Anda menjadi persis seperti Anda? Lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Bila Anda senang mroyek, maka 200 mahasiswa akan menjadi proyektan (proyektor?) semua! Bila Anda senang menipu, maka 200 mahasiswa akan menjadi penipu. Bila dalam mengerjakan proyek Anda hanya mengerjakan laporan untuk sekedar memenuhi syarat, maka 200 mahasiswa Anda akan melakukan ini juga. (Bayangkan apabila anak Anda yang menjadi client yang akan dilayani oleh didikan Anda.) Di saat yang sama, apabila Anda memberikan layanan yang terbaik kepada client Anda, maka 200 mahasiswa akan memberikan layanan yang terbaik bagi client mereka nantinya. Kampus akan mencetak mahasiswa sesuai dengan dosennya.

Kembali ke masalah entrepreneurship di kampus. Sikap kampus terhadap entrepreneurship masih belum bersahabat, dan bahkan cenderung memusuhi. Pengamatan saya menunjukan sikap permusuhan ini. (Lihat saja contoh "Air Ganesha" di ITB.) Sadar atau tidak, nuansa tidak bersahabat ini akan dirasakan oleh mahasiswa. Lupakanlah mendidik mahasiswa untuk menjadi entrepreneur dengan aroma seperti ini.

Contoh yang baik dan bersahabat dengan entrepreneurship adalah mengijinkan stafnya (dan bahkan mahasiswanya!) untuk leave of absence dalam rangka entrepreneurship. Mereka boleh kembali lagi ketika mereka gagal. Tentunya kalau mereka berhasil, mungkin mereka tidak kembali lagi sebagai staf/mahasiswa. Mereka akan kembali sebagai entrepreneur yang berhasil dan membawa kontribusi (termasuk kontribusi finansial) kepada perguruan tinggi yang bersahabat dan memberi kesempatan kepada mereka.

Penutup

Saya masih ingin mengajak mahasiswa saya untuk mulai memikirkan bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan. Entrepreneurship harus dimulai sejak dini. Di sisi lain, saya ingin mebuka mata para dosen dan pimpinan perguruan tinggi tentang pentingnya mendukung entrepreneurship yang tidak hanya berhenti di mulut saja, akan tetapi juga pada action. Jika ini pendekatan yang salah, mari kita diskusikan lebih lanjut.


0 komentar: